Wednesday 5 August 2015

Geologi Regional Sumatera Selatan

Fisiografi dan Morfologi

Pulau Sumatra memiliki orientasi baratlaut yang terbentang pada ekstensi dari Lempeng Benua Eurasia. Pulau Sumatra memiliki luas area sekitar 435.000 km2, dihitung dari 1650 km dari Banda Aceh pada bagian utara menuju Tanjungkarang pada bagian selatan. Lebarnya mencapai 100-200 km pada bagian utara dan sekitar 350 km pada bagian selatan. Trendline utama dari pulau ini cukup sederhana. Bagian belakangnya dibentuk oleh Pegunungan Barisan yang berada sepanjang bagian barat. Daerah ini membagi pantai barat dan timur. Lereng yang menuju Samudera Hindia biasanya curam yang menyebabkan sabuk bagian barat biasanya berupa pegunungan dengan pengecualian 2 embayment pada Sumatra Utara yang memiliki lebar 20 km. Sabuk bagian timur pada pulau ini ditutupi oleh perbukitan besar dari Formasi Tersier dan dataran rendah aluvial. Pada diamond point di daerah Aceh, sabuk rendah bagian timur memiliki lebar sekitar 30 km, lebarnya bertambah hingga 150-200 km pada Sumatra Tengah dan Selatan.

Pulau Sumatera terletak di sebelah barat daya Kontinen Paparan Sunda dan merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia – Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Sundaland/Lempeng Eurasia. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari sistem Sesar Sumatra. Van Bemmelen membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi yaitu:
1. Zona Jajaran Barisan
2. Zona Semangko
3. Zona Pegunungan Tiga Puluh
4. Zona Kepulauan Busur Luar
5. Zona Paparan Sunda
6. Zona Dataran Rendah dan Berbukit

Berdasarkan posisi geografisnya, daerah Sumatera Selatan termasuk ke dalam Zona Fisiografi Dataran Rendah dan Berbukit. Zona ini dicirikan oleh morfologi perbukitan homoklin dengan elevasi 40 – 80 m di atas permukaan laut dan tersebar luas di pantai timur Pulau Sumatera.

Daerah ini termasuk ke dalam Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakang busur berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan Lempeng Samudra Hinida. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2 yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Sumatera, menempati posisi dalam arah relatifbaratlaut – tenggara.

Batas-batas cekungan ini adalah Paparan Sunda di sebelah timur, Bukit Barisan di sebelah barat, Tinggian Lampung di sebelah selatan, dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah utara [1]

Stratigrafi Regional

Secara umum, sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan merupakan
suatu daur lengkap yang terdiri dari seri transgresi dan regresi [2].

Penjelasan dari fase-fase tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Fase Transgresi, ditandai dengan pengendapan kelompok Telisa secara tidak selaras di atas batuan dasar berumur Pra Tersier. Selama pengendapan yang terjadi pada fase transgresi, penurunan dasar cekungan lebih cepat daripada proses sedimentasi, sehingga terbentuk urutan fasies non marin, transisi, lautdangkal, Dan laut dalam [3].

2. Fase Regresi, ditandai dengan pengendapan kelompok Palembang. Pada fase ini, pengendapan lebih cepat daripada penurunan dasar cekungan, sehingga terbentuk urutan yang berkebalikan dengan fase transgresi, yaitu fasies laut dangkal, transisi, dan non marin [4].

Urutan stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dari tua ke muda adalah Batuan Dasar, Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai, dan Endapan Kuarter.

Batuan Dasar
Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Gumai terdiri dari dua unit batuan yang hubungan satu dengan yang lainnya tidak jelas. Kedua unit tersebut adalah Formasi Saling dan Formasi Lingsing. Formasi Saling terdiri dari breksi vulkanik berlapis buruk, tuf, dan lava basaltik-andesitik, mempunyai sisipan batugamping dengan fosil berumur Mesozoikum (Pulunggono, 1976). Formasi Lingsing terdiri dari serpih dan sabak abu-abu hitam dengan sisipan batuan andesitik-basaltik, rijang, dan batugamping Orbitulina berumur Kapur Awal. Kedua formasi tersebut diterobos oleh intrusi granodiorit berumur Kapur Akhir atau Tersier Awal [5].

Formasi Lahat
Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan tebal (mencapai 3350 m) yang terdiri dari breksi vulkanik andesitik, tuf, endapan lahar, dan aliran lava, di bagian tengah terdapat batupasir kuarsa. Formasi ini terdiri dari 3 anggota, yaitu :

1. Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi, dan lapisan lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 – 800 m.

2. Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras diatas anggota pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh kuarsa.

3.Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradasi di atas Anggota Batupasir Kuarsa, terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar.

Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan, menunjukkan
Cekungan Sumatera Selatan terdiri dari fase transgresi dan fase regresi dan dipengaruhi oleh 3 orogenesa utama [6]

Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat (oleh Pulunggono, 1976), berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih, batulempung, batulanau, dan sisipan batubara. Bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan formasi ini mencapai 400 – 850 meter. Formasi Talang Akar diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga fluvial pada Pulunggono, 1976.  

Sumber sedimen Formasi Talang Akar bagian bawah pada umur Oligosen Akhir ini berasal dari dua daerah yaitu sebelah timur (Sundaland Mass) dan sebelah barat (deretan Pegunungan Barisan dan areal tinggian dekat Bukit Barisan).

Sedimen Formasi Talang Akar ini umumnya berubah dari lingkungan fluvial pada bagian bawah, berangsur ke arah atas menjadi lingkungan deltaik dan laut dangkal. Sedimen ini terdiri dari butiran yang berukuran halus sampai kasar, kadang-kadang dijumpai konglomerat, pemilahan bagus relatif bersih, berlapis tebal dan memiliki porositas baik. Formasi Talang Akar bagian bawah merupakan reservoir dengan kualitas paling baik di Cekungan Sumatra Selatan Dengan pengisian yang terus berlanjut pada topografi yang umumnya mengalami penurunan, lingkungan pengendapan secara perlahan berangsur menjadi lingkungan laut, kemudian diendapkan Formasi Talang Akar bagian atas. Formasi ini diendapkan pada lingkungan deltaik sampai lingkungan laut dalam yang dicirikan oleh litologi batupasir dan serpih serta berselingan dengan batubara. Batupasir umumnya berukuran sangat halus sampai kasar, argillaceous hingga calcareous dengan porositas dan permeabilitas yang buruk hingga baik. Pengendapan Formasi Talang Akar sangat dipengaruhi oleh relief topografi, memiliki ketebalan hingga 300 kaki. Pengendapan Formasi Talang Akar berakhir pada masa transgresi maksimum dengan munculnya endapan laut pada cekungan selama Miosen Awal pada Pulunggono, 1976.

Formasi Baturaja
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar dengan ketebalan antara 200 – 250 meter. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal.

Formasi Gumai
Formasi Gumai menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan, diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja pada lingkungan laut dalam. Ketebalan formasi ini secara umum tidak kurang dari 1500 meter, terdiri dari batupasir gampingan dan sisipan batugamping, serpih gampingan kaya foraminifera, napal, dan batulanau pada bagian bawahnya. Di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Formasi Gumai berumur Miosen Awal – Miosen Tengah.

Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan karakter litologinya mencirikan awal terjadinya fase regresi di Cekungan Sumatera Selatan. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100 – 1300 meter dan berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir, lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal .

Formasi ini terdiri atas perselingan batulempung dengan batupasir dan sisipan batulanau. Batulempung berwarna abu-abu sampai coklat dan abu-abu kebiruan, berlapis baik dengan tebal lapisan berkisar antara 15 dan 40 cm, umumnya gampingan dan karbonan. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan sampai hijau tua, kompak, berlapis baik dengan tebal lapisan 10-30 cm, berbutir halus sampai sedang, mengandung glaukonit dan sisa tumbuhan terutama pada bidang perlapisan. Konglomerat terdapat pada puncak formasi secara lokal, berwarna abu-abu tua, disusun oleh komponen berukuran 2 – 25 mm.

Komponennya terdiri dari batupasir, batuan beku dan cangkang moluska. Tebal lapisan konglomerat sampai 1,5 m. Formasi diendapkan di lingkungan laut dangkal dan diendapkan selaras di atas Formasi Gumai pada Pulunggono, 1976.

Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marin. Bagian top dan bottom dicirikan oleh munculnya lapisan batubara yang menerus secara lateral. Litologi terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung berfosil berwarna kuning kelabu dengan sisipan batubara mengandung oksida besi berupa kongkresi dan lapisan tipis. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik

Batubara di formasi ini hampir seluruhnya berupa lignit low grade. Hanya pada bagian tertentu saja (di dekat intrusi andesit muda) lignit tersebut berubah menjadi batubara high grade. Bagian atas lapisan batubara dapat tersilisifikasi, terutama yang mengalami kontak dengan lapisan tuf. Di bagian bawah lapisan batubara secara insitu terdapat sisa-sisa akar, sehingga diduga batubara ini merupakan batubara autochtonous  oleh Pulunggono, 1976.
Ketebalan Formasi Muara Enim mencapai 500 – 1000 meter. Formasi
Muara Enim berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal

Formasi Kasai
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Muara Enim, berumur Pliosen Akhir – Plistosen. Formasi Kasai memiliki ketebalan 850 – 1200 meter, terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir, dan konglomerat, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit dan kayu tersilisifikasi. Litologi Formasi Kasai merupakan hasil erosi dan formasi yang lebih tua.

Sebagian besar merupakan endapan synorogenic, terbentuk terutama di bagian sinklin. Formasi Kasai diendapkan pada lingkungan fluvial dan alluvial fan pada Pulunggono, 1976.

Endapan Kuarter
Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio – Plistosen digolongkan dalam Sedimen Kuarter. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih tua, dicirikan oleh kehadiran batuan volkanik andesitik – basaltik berwarna gelap.

Struktur Geologi Regional
Struktur geologi Cekungan Sumatera Selatan tidak dapat dipisahkan dari tatanan tektonik regional Pulau Sumatera dengan unsur utama subduksi oblique Lempeng Indo-Australia terhadap Kontinen Sunda dengan kecepatan 6 - 7 cm/tahun. 
Secara umum, Sumatera dapat dibagi menjadi 5 bagian, yaitu:

Busur Luar Sunda, berupa busur non-volkanik yang terletak di luar pantai barat Pulau Sumatera, yaitu sepanjang Pulau Singkil, Nias, Kepulauan Mentawai, dan enggano, menerus ke selatan Pulau Jawa. Busur ini memisahkan cekungan depan busur dengan palung tempat menunjamnya Lempeng Indo-Australia ke Kontinen Sunda.

1. Cekungan Depan Busur, terletak di anatar busur luar non-volkanik dan busur volkanik Sumatera.

2. Cekungan Belakang Busur, termasuk Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan-cekungan ini terbentuk oleh depresi batuan dasar di kaki Pegunungan Barisan.

3. Jalur Pegunungan Barisan, dan memanjang arah baratlaut – tenggara, sejajar dengan Pulau Sumatera.

4. Cekungan intermontane, atau intra-arc basin.

Cekungan Sumatera Selatan mulai terbentuk pada Pra-Tersier Akhir melalui proses ekstensi berarah barat – timur pada Daly et.al., 1987 op. cit. Darman dan Sidi, 2000.  Aktivitas orogenesa selanjutnya yang berlangsung hingga Eosen membentuk 4 sub-cekungan dalam cekungan ini, berupa konfigurasi half graben, horst, dan fault block. Pola struktur yang terdapat di Cekungan  

Sumatera Selatan merupakan hasil dari 3 orogonesa utama oleh De Coster, 1974. Orogonesa pertama terjadi pada Mesozoikum Tengah, mengakibatkan batuan berumur Paleozoikum dan Mesozoikum Awal mengalami perlipatan, pensesaran, metamorfisme, danpenerobosan oleh tubuh-tubuh granit. Orogenesa pertama ini menghasilkan pola struktur berarah barat laut tenggara, sejajar dengan batas penyebaran batuan Pra-Tersier.

Orogenesa kedua terjadi pada Kapur Akhir – Eosen, menghasilkan pola struktur berarah utara – selatan yang berkaitan dengan transform fault. Pola struktur yang dihasilkan oleh orogenesa pertama dan kedua ini membentuk konfigurasi batuan dasar yang berupa half graben, horst, dan fault block pada DeCoster, 1974; Pulunggono et. al., 1992 op. cit. Darman dan Sidi, 2000.  Orogenesa ketiga terjadi pada Plio – Plistosen, menghasilkan pola struktur berarah baratlaut –tenggara dan depresi ke arah timur laut.

Pola struktur Plio – Pleistosen ini dibentuk oleh:
o Semangko Wrench Fault yang merupakan hasil dari subduksi oblique
Lempeng Indo-Australia terhadap Kontinen Sunda yang menimbulkan gerak
rotasi right lateral.

o Perlipatan-perlipatan dengan arah baratlaut – tenggara sebagai akibat dari
Semangko Wrenching.

o Patahan yang berasosiasi dengan perlipatan dan juga peremajaan sesar-sesar Pra-Tersier.


Sehingga dari Shell mengatakan  pada dari 1978, op. cit. Zuhri, 1990 mengelompokkan lipatan-lipatan sebagai akibat orogenesa Plio – Pleistosen di Cekungan Sumatera Selatan menjadi 3 buah Antiklinorium, yaitu Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo, dan Antiklinorium Palembang.

Sumber :
[1]. (Koesoemadinata,dkk., 1976)
[2]. (Jackson, 1961 op.cit. Koesoemadinata, dkk., 1976)
[3]. (Pulunggono, 1969; Koesoemadinata, dkk., 1976; DeCoster,1974)
[4]. (Pulunggono, 1969; De Coster, 1974; Koesoemadinata, dkk., 1976).
[5]. (Pulunggono, 1976).
[6]. (Bishop, 2000).

Share this

0 Comment to "Geologi Regional Sumatera Selatan"

Post a Comment